Senin, 23 Februari 2009

Perang Palestina-Israel: Konflik 4000 tahun

BABAK 7

Zaman kegelapan yang panjang di Palestina akhirnya mulai berakhir ketika Ibrahim Pasha dari Mesir menginvasi Palestina pada bulan November 1831. Ibrahim Pasha merupakan anak dari Mohhammed Ali, penguasa flamboyan dari Mesir yang berani melawan Turki sebagai kekuatan baru di Timur Tengah. Ibrahim Pasha membuka sejumlah sekolah Arab di Palestina, dan bahkan mendorong misionaris Eropa membuka sekolah-sekolah mereka bagi orang-orang Palestina Kristen. Ibrahim menguasai Palestina selama 10 tahun (1831-1840), cukup untuk memicu renaissance yang lama ditunggu di Tanah Suci ini.

Untuk mengamankan jalur perdagangannya, Inggris kembali berdampingan dengan Turki, kali ini melawan Mesir. Melawan mereka, Ibrahim Pasha terdesak mundur ke Mesir dan Inggris menduduki Mesir sementara bangsa Turki kembali menduduki Palestina dan segera menutup sekolah-sekolah yang didirikan Ibrahim. Tapi karena takut akan reaksi pihak Barat, mereka tidak menutup sekolah-sekolah misionaris.

Kembalinya kekuasaan Turki yang relatif stabil dan lebih toleran membuat kepentingan Eropa di Palestina terus meningkat. Konsulat-konsulat dengan kekuasaan yang lebih besar ditempatkan di Yerusalem dan di beberapa kota pelabuhan Palestina. Namun demikian penguasaan atas tempat-tempat suci dikuasai oleh Rusia sebagai pelindung orang-orang Kristen Ortodox di Palestina maupun di wilayah Turki lainnya, menurut perjanjian Rusia-Turki tahun 1757 dan 1774.

Napoleon III yang memenangkan kudeta di Perancis, berusaha menekan Turki agar menjadikan Perancis dan gereja Katolik Roma sebagai penguasa tempat-tempat suci di Palestina, termasuk gereja Nativity di Betlehem yang selama ini dipegang Rusia. Konflik ini berujung pada perang Krim (1853-1856), yang berlangsung di semenanjung Krimean dan laut Baltik, antara Perancis, Inggris, Sardinia dan Turki di satu sisi melawan Rusia di pihak lainnya.

Perang Krim memperebutkan penguasaan atas tempat-tempat suci di Palestina ini untungnya tidak terjadi di Palestina. Dengan demikian masyarakatnya bisa hidup damai, walaupun terdiri dari tiga agama, dari yang mayoritas adalah: Islam, Kristen lalu Yahudi. Keadaan damai ini membuat lebih banyak orang Yahudi di negeri asing berani kembali ke tanah Palestina, walaupun legislasi Ottoman membatasi mereka. Populasi mereka meningkat pesat, dari hanya 980 orang di Yerusalem pada tahun 1587, menjadi 25.000 pada tahun 1880-an, bandingkan dengan 600.000 orang Palestina Muslim dan Kristen.

Tahun 1898 Kaisar Wilhelm II dari Jerman mengadakan kunjungan ke Palestina, menunjukkan pada para penguasa Eropa lainnya bahwa Jerman tertarik pada Arab bagian timur ini. Ketegangan ini makin lama makin memuncak hingga akhirnya pecah Perang Dunia I pada tahun 1914 di mana Turki bersekutu dengan Jerman melawan Inggris yang bercokol di sepanjang terusan Zues. Pasukan Inggris di Mesir di bawah pimpinan Jenderal Allenby merangsek masuk ke Palestina selatan, dan pada 9 Desember 1917 Allenby berhasil merebut Yerusalem. Pasukan Turki dan Jerman bertahan di Samaria dan Galilea sebelum akhirnya meninggalkan Palestina pada bulan September 1918.

Pada bulan November tahun 1914, Menteri Luar Negeri Inggris, Balfour, mengeluarkan deklarasi Balfour yang berisi dukungan Inggris bagi terbentuknya negara Yahudi di Palestina. Karena itu, ketika Perang Dunia I berakhir pada tahun 1918 dengan kemenangan Inggris dan jatuhnya Imperium Ottoman, maka gelombang imigran Yahudi ke Palestina semakin meningkat.
Orang Yahudi yang kembali ke Palestina dari negeri-negeri asing disebut zionist. Kata “zionisme” diturunkan dari kata Zion, sebuah gunung dekat Yerusalem. Dalam beberapa kutipan, Raja Daud sering menyebut kata ”Zion” yang merujuk pada kota Yerusalem atau tanah Israel secara keseluruhan, dimana bangsa Israel sering disebut ‘anak-anak Zion’. Namun demikian, zionisme sebagai sebuah aliran di zaman moderen muncul sebagian besar sebagai respons kaum Yahudi Eropa terhadap sikap antisemitisme yang berkembang di banyak negara Eropa pada akhir tahun 1800-an.

Istilah zionisme pertama kali digunakan untuk menggambarkan nasionalisme Yahudi oleh penerbit Nathan Birnbaum, pendiri pergerakan siswa Yahudi Kadimah tahun 1890, dalam jurnalnya Selbstemanzipation (Self Emancipation). Namun demikian, Zionisme sebagai aliran politik secara formal digulirkan oleh jurnalis Austria-Hongaria, Theodor Herzl, pada akhir abad ke-19 setelah dipublikasikannya Der Judenstaat (Negara Yahudi). Gerakan ini mendukung dilakukannya migrasi kaum Yahudi kembali ke ‘Tanah Perjanjian’ dan pembentukan sebuah negara Yahudi di tanah termaksud. Pada tahun 1897 Herzl menyelenggarakan Kongres Zionis Pertama di Basel, Swiss, dimana terbentuk World Zionist Organization.

Tahun 1938, Komisi Woodhead dibentuk untuk menjajaki cara penerapan rekomendasi yang dibuat oleh Komisi Peel (1936). Gagasan pembagian wilayah didukung, namun negara Yahudi yang diusulkan pada intinya jauh lebih kecil, wilayahnya hanyalah dataran pantai saja. Usulan ini ditolak pihak Yahudi dalam Konferensi St. James di London pada bulan Februari 1939. Pada bulan Mei 1939, dikeluarkanlah sebuah usulan dari negara-negara Arab agar dibentuknya suatu negara Palestina yang independen dalam waktu sepuluh tahun, yang diperintah bersama-sama oleh orang Arab dan Yahudi. Usul inipun ditolak oleh pihak Yahudi yang menginginkan pembentukan suatu negara Yahudi untuk bangsa Yahudi.

Tahun 1947, ketika Inggris bermaksud meninggalkan wilayah yang mereka rebut dari Ottoman Turki, PBB yang belum lama terbentuk menawarkan solusi dua-negara terpisah untuk wilayah itu, yakni negara Palestina dan Israel (UN Partition Plan). Komposisi kependudukan pada waktu itu adalah dua pertiga Arab dan sepertiga Yahudi. Solusi PBB ini disepakati walaupun kurang memuaskan bagi kedua belah pihak. Para pemimpin Arab kurang terima dengan terbentuknya negara Israel di tanah yang mereka kenal sebagai tanah Palestina. Orang Yahudi juga kurang setuju dengan pembagian tanahnya karena mereka lebih banyak mendapatkan padang pasir (gurun Negev) ketimbang lahan pemukiman.

Tahun 1948 Israel mendeklarasikan kemerdekaannya. Deklarasi Ini langsung diikuti dengan perang oleh negara-negara Arab yang tidak menghendakinya. Dalam perang ini Israel malahan mencaplok lebih banyak tanah dari yang telah ditentukan dalam rencana PBB.
Beberapa bulan kemudian ratusan ribu warga Arab, takut akan pendudukan Israel dan atas dorongan dari para pimpinan Palestina, meninggalkan rumah mereka dan mengungsi ke negara-negara tetangganya, seperti Libanon, Siria dan Yordania. Mereka bermaksud akan kembali saat Israel dikalahkan. Apapun rencana pimpinan mereka, masalah pengungsian ini belum terselesaikan hingga hari ini.

Sementara itu, ratusan ribu warga Yahudi yang saat itu bermukim di negara-negara Arab meninggalkan rumah mereka dan pindah ke Israel. Inilah kemenangan terbesar Israel atas Palestina. Negara Israel berhasil dibentuk dan dideklarasikan, sementara ribuan rakyat Palestina harus pindah dari tanah mereka ke tempat-tempat pengungsian di luar Palestina. Dalam kurun waktu antara 1947 – 1948, ada sekitar 180.000 orang Palestina yang terusir dari wilayah mereka.

Ini jelas kemenangan besar bagi bangsa Yahudi dengan terbentuknya negara Israel yang moderen dan berdaulat, dengan kekuatan militer yang menonjol dan wilayah kekuasaan (de fakto) yang relatif luas, walaupun dimusuhi dan diperangi oleh semua tetangganya.

2 komentar:

  1. The war is over, Bro.. what actually r u going to do, design some houses in Gaza or arrange a soccer competition between Hamas and Israel?

    BalasHapus
  2. Ha ha ha thank's.. i'm just wanna write and enjoy funny comment like yours.
    Hope it's over, but watch your TV, bro.. the conflict is not settled yet and the war is not really cease.

    BalasHapus

Tuliskan komentar anda.