Senin, 23 Februari 2009

Perang Palestina-Israel: Konflik 4000 tahun

BABAK 7

Zaman kegelapan yang panjang di Palestina akhirnya mulai berakhir ketika Ibrahim Pasha dari Mesir menginvasi Palestina pada bulan November 1831. Ibrahim Pasha merupakan anak dari Mohhammed Ali, penguasa flamboyan dari Mesir yang berani melawan Turki sebagai kekuatan baru di Timur Tengah. Ibrahim Pasha membuka sejumlah sekolah Arab di Palestina, dan bahkan mendorong misionaris Eropa membuka sekolah-sekolah mereka bagi orang-orang Palestina Kristen. Ibrahim menguasai Palestina selama 10 tahun (1831-1840), cukup untuk memicu renaissance yang lama ditunggu di Tanah Suci ini.

Untuk mengamankan jalur perdagangannya, Inggris kembali berdampingan dengan Turki, kali ini melawan Mesir. Melawan mereka, Ibrahim Pasha terdesak mundur ke Mesir dan Inggris menduduki Mesir sementara bangsa Turki kembali menduduki Palestina dan segera menutup sekolah-sekolah yang didirikan Ibrahim. Tapi karena takut akan reaksi pihak Barat, mereka tidak menutup sekolah-sekolah misionaris.

Kembalinya kekuasaan Turki yang relatif stabil dan lebih toleran membuat kepentingan Eropa di Palestina terus meningkat. Konsulat-konsulat dengan kekuasaan yang lebih besar ditempatkan di Yerusalem dan di beberapa kota pelabuhan Palestina. Namun demikian penguasaan atas tempat-tempat suci dikuasai oleh Rusia sebagai pelindung orang-orang Kristen Ortodox di Palestina maupun di wilayah Turki lainnya, menurut perjanjian Rusia-Turki tahun 1757 dan 1774.

Napoleon III yang memenangkan kudeta di Perancis, berusaha menekan Turki agar menjadikan Perancis dan gereja Katolik Roma sebagai penguasa tempat-tempat suci di Palestina, termasuk gereja Nativity di Betlehem yang selama ini dipegang Rusia. Konflik ini berujung pada perang Krim (1853-1856), yang berlangsung di semenanjung Krimean dan laut Baltik, antara Perancis, Inggris, Sardinia dan Turki di satu sisi melawan Rusia di pihak lainnya.

Perang Krim memperebutkan penguasaan atas tempat-tempat suci di Palestina ini untungnya tidak terjadi di Palestina. Dengan demikian masyarakatnya bisa hidup damai, walaupun terdiri dari tiga agama, dari yang mayoritas adalah: Islam, Kristen lalu Yahudi. Keadaan damai ini membuat lebih banyak orang Yahudi di negeri asing berani kembali ke tanah Palestina, walaupun legislasi Ottoman membatasi mereka. Populasi mereka meningkat pesat, dari hanya 980 orang di Yerusalem pada tahun 1587, menjadi 25.000 pada tahun 1880-an, bandingkan dengan 600.000 orang Palestina Muslim dan Kristen.

Tahun 1898 Kaisar Wilhelm II dari Jerman mengadakan kunjungan ke Palestina, menunjukkan pada para penguasa Eropa lainnya bahwa Jerman tertarik pada Arab bagian timur ini. Ketegangan ini makin lama makin memuncak hingga akhirnya pecah Perang Dunia I pada tahun 1914 di mana Turki bersekutu dengan Jerman melawan Inggris yang bercokol di sepanjang terusan Zues. Pasukan Inggris di Mesir di bawah pimpinan Jenderal Allenby merangsek masuk ke Palestina selatan, dan pada 9 Desember 1917 Allenby berhasil merebut Yerusalem. Pasukan Turki dan Jerman bertahan di Samaria dan Galilea sebelum akhirnya meninggalkan Palestina pada bulan September 1918.

Pada bulan November tahun 1914, Menteri Luar Negeri Inggris, Balfour, mengeluarkan deklarasi Balfour yang berisi dukungan Inggris bagi terbentuknya negara Yahudi di Palestina. Karena itu, ketika Perang Dunia I berakhir pada tahun 1918 dengan kemenangan Inggris dan jatuhnya Imperium Ottoman, maka gelombang imigran Yahudi ke Palestina semakin meningkat.
Orang Yahudi yang kembali ke Palestina dari negeri-negeri asing disebut zionist. Kata “zionisme” diturunkan dari kata Zion, sebuah gunung dekat Yerusalem. Dalam beberapa kutipan, Raja Daud sering menyebut kata ”Zion” yang merujuk pada kota Yerusalem atau tanah Israel secara keseluruhan, dimana bangsa Israel sering disebut ‘anak-anak Zion’. Namun demikian, zionisme sebagai sebuah aliran di zaman moderen muncul sebagian besar sebagai respons kaum Yahudi Eropa terhadap sikap antisemitisme yang berkembang di banyak negara Eropa pada akhir tahun 1800-an.

Istilah zionisme pertama kali digunakan untuk menggambarkan nasionalisme Yahudi oleh penerbit Nathan Birnbaum, pendiri pergerakan siswa Yahudi Kadimah tahun 1890, dalam jurnalnya Selbstemanzipation (Self Emancipation). Namun demikian, Zionisme sebagai aliran politik secara formal digulirkan oleh jurnalis Austria-Hongaria, Theodor Herzl, pada akhir abad ke-19 setelah dipublikasikannya Der Judenstaat (Negara Yahudi). Gerakan ini mendukung dilakukannya migrasi kaum Yahudi kembali ke ‘Tanah Perjanjian’ dan pembentukan sebuah negara Yahudi di tanah termaksud. Pada tahun 1897 Herzl menyelenggarakan Kongres Zionis Pertama di Basel, Swiss, dimana terbentuk World Zionist Organization.

Tahun 1938, Komisi Woodhead dibentuk untuk menjajaki cara penerapan rekomendasi yang dibuat oleh Komisi Peel (1936). Gagasan pembagian wilayah didukung, namun negara Yahudi yang diusulkan pada intinya jauh lebih kecil, wilayahnya hanyalah dataran pantai saja. Usulan ini ditolak pihak Yahudi dalam Konferensi St. James di London pada bulan Februari 1939. Pada bulan Mei 1939, dikeluarkanlah sebuah usulan dari negara-negara Arab agar dibentuknya suatu negara Palestina yang independen dalam waktu sepuluh tahun, yang diperintah bersama-sama oleh orang Arab dan Yahudi. Usul inipun ditolak oleh pihak Yahudi yang menginginkan pembentukan suatu negara Yahudi untuk bangsa Yahudi.

Tahun 1947, ketika Inggris bermaksud meninggalkan wilayah yang mereka rebut dari Ottoman Turki, PBB yang belum lama terbentuk menawarkan solusi dua-negara terpisah untuk wilayah itu, yakni negara Palestina dan Israel (UN Partition Plan). Komposisi kependudukan pada waktu itu adalah dua pertiga Arab dan sepertiga Yahudi. Solusi PBB ini disepakati walaupun kurang memuaskan bagi kedua belah pihak. Para pemimpin Arab kurang terima dengan terbentuknya negara Israel di tanah yang mereka kenal sebagai tanah Palestina. Orang Yahudi juga kurang setuju dengan pembagian tanahnya karena mereka lebih banyak mendapatkan padang pasir (gurun Negev) ketimbang lahan pemukiman.

Tahun 1948 Israel mendeklarasikan kemerdekaannya. Deklarasi Ini langsung diikuti dengan perang oleh negara-negara Arab yang tidak menghendakinya. Dalam perang ini Israel malahan mencaplok lebih banyak tanah dari yang telah ditentukan dalam rencana PBB.
Beberapa bulan kemudian ratusan ribu warga Arab, takut akan pendudukan Israel dan atas dorongan dari para pimpinan Palestina, meninggalkan rumah mereka dan mengungsi ke negara-negara tetangganya, seperti Libanon, Siria dan Yordania. Mereka bermaksud akan kembali saat Israel dikalahkan. Apapun rencana pimpinan mereka, masalah pengungsian ini belum terselesaikan hingga hari ini.

Sementara itu, ratusan ribu warga Yahudi yang saat itu bermukim di negara-negara Arab meninggalkan rumah mereka dan pindah ke Israel. Inilah kemenangan terbesar Israel atas Palestina. Negara Israel berhasil dibentuk dan dideklarasikan, sementara ribuan rakyat Palestina harus pindah dari tanah mereka ke tempat-tempat pengungsian di luar Palestina. Dalam kurun waktu antara 1947 – 1948, ada sekitar 180.000 orang Palestina yang terusir dari wilayah mereka.

Ini jelas kemenangan besar bagi bangsa Yahudi dengan terbentuknya negara Israel yang moderen dan berdaulat, dengan kekuatan militer yang menonjol dan wilayah kekuasaan (de fakto) yang relatif luas, walaupun dimusuhi dan diperangi oleh semua tetangganya.

Jumat, 20 Februari 2009

Perang Palestina-Israel: Konflik 4000 tahun

BABAK 6

Kaum Mamluki mempertahankan pemerintahan oligarki mereka dengan secara terus menerus mengimpor budak Turki dan Cirkasian untuk dikembalikan kemerdekaannya dan dijadikan tentara. Ironisnya, kaum bekas budak inilah yang mengembangkan seni di Kairo hingga menjadi kota terindah di dunia pada abad pertengahan. Sebagian besar wilayah Palestina memang terabaikan, walaupun mereka terus memperindah Dome of the Rock di Yerusalem.

Kekuasaan Mamluki berakhir pada abad ke-15 ketika kesultanan Turki Ottoman (imperium Utsmani) tumbuh menjadi yang terkuat di Asia Kecil. Pada tahun 1455, Ottoman melakukan serangan mematikan ke ibukota wilayah Byzantine, Konstantinopel, yang dikuasai saudara-saudara mereka. Pada tahun 1516, pasukan Ottoman Turki yang moderen menginvasi Palestina dengan artileri dan senjata api, dimana pasukan berkuda Mamluki hanya bertahan dengan pedang, tombak dan lembing.

Pada masa pemerintahan Sulaiman Agung dari kesultanan Ottoman (1520-1566) tembok Yerusalem sempat dibangun kembali. Salah seorang permaisurinya, Khasseki Sultan, bahkan membangun sebuah kompleks di Yerusalem untuk tempat perlindungan bagi orang-orang miskin dan dapur umum untuk memberi mereka makan. Namun demikian, Palestina secara umum, berada dalam masa stagnan karena tidak dikembangkannya pendidikan oleh penguasa-penguasa Turki.

Pada abad berikutnya, sepanjang abad ke-17, kesultanan Ottoman sibuk mempertahankan wilayahnya yang membentang dari Hungaria hingga Mesir. Pada masa ini, bangsa Palestina telah memiliki perwakilan di parlemen Utsmani, berarti mereka mulai memiliki tatanan sosial yang relatif lebih maju dari sebelumnya. Namun demikian sebagian besar petani Palestina menjadi tentara Turki, dan tanah-tanah subur di Palestina kembali terbengkalai. Sementara itu orang-orang Yahudi yang diasingkan/diusir sejak dua abad sebelumnya hingga mereka yang terusir oleh pasukan salib secara perlahan mulai kembali ke tanah leluhur mereka, yakni tanah yang mereka sebut Israel, atau Eretz Yisra’el dalam bahasa Ibrani.

Sedikit demi sedikit, mereka datang kembali dan tinggal di Palestina. Mereka datang oleh panggilan Rabbi (pimpinan agama Yahudi) atau dengan inisiatif dan keyakinan mereka sendiri, atau karena melarikan diri dari Eropa. Sekitar tahun 1700, sekelompok kecil ummat yang dipimpin rabbi Yehuda Hehasid tiba di Palestina dari Eropa. Walaupun rabbi ini tiba-tiba meninggal dan sinagog yang mereka bangun dibakar namun kepulangan mereka terus diikuti oleh kelompok lainnya, seperti rombongan yang cukup besar di bawah pimpinan Rabbi Luzatto dan Ben-Attar tahun 1740. Di samping berkelompok, individual-individual pun berdatangan baik dari Eropa Barat, Eropa Timur maupun dari negara-negara Arab. Mereka mendapati bahwa hanya ada sekelompok kecil orang Yahudi yang tinggal di tanah yang saat itu disebut Palestina, dimana lebih banyak keturunan Ismail bermukim dan menguasai tanah Palestina.

Perdagangan Eropa dan Asia yang melewati kawasan Timur Tengah akhirnya menciptakan konflik tersendiri di kawasan ini. Untuk memotong jalur perdagangan Inggris dan India, pada bulan Februari 1799, Napoleon Bonaparte menginvasi Palestina setelah sebelumnya berhasil menguasai Mesir. Di Jaffa, pasukan Perancis dengan bengis membantai penduduk lokal. Kemudian, ketika pasukan mereka terkena wabah, sebagian dari mereka berpikir bahwa ini adalah kuasa Tuhan yang menghukum mereka karena melakukan pembantaian di Tanah Suci. Demoralisasi pasukan terjadi dan mereka bergerak ke utara untuk menaklukan Acre. Namun penguasa kota itu, Ahmed Al-Jazzar, berhasil bertahan dari Napoleon walaupun menghadapi bombardir yang terus menerus dari pasukan Perancis. Acre kembali lega setelah tiga puluh kapal Ottoman mendaratkan 10.000 pasukan gabungan Inggris dan Turki. Napoleon pun mundur dan berlayar kembali ke Perancis. Inggris berhasil mengamankan jalur perdagangannya dan Turki mengamankan kekuasaannya di Palestina.

Inilah babak ke-6 sebuah kemenangan kecil bagi Israel dimana orang-orang Yahudi mulai kembali ke tanah Palestina, merintis dan menjadi cikal bakal terbentuknya negara Israel moderen sekitar seratus lima puluh tahun kemudian.

Minggu, 15 Februari 2009

Perang Palestina-Israel: Konflik 4000 tahun

BABAK KE-5

Era damai kekalifahan berlangsung hingga tahun 969, ketika penguasaan kota beralih ke kalifah Fatimid. Kekalifahan ini disebut juga al-Fatimiyyun dan merupakan dinasti Arab beraliran Ismailisme Syiah. Inilah kekalifahan yang keempat dan yang terakhir dari kekalifahan Arab. Para pemimpin mereka melegitimasi kekuasaannya berdasarkan keturunan nabi Muhammad dari anaknya Fatima as-Zahra.

Kekalifahan ini berpusat di Mesir dan terkenal toleran terhadap aliran Islam yang lain seperti Sunni, bahkan Kristen dan Yahudi yang diikutsertakan dalam pemerintahan. Namun demikian, di beberapa tempat mereka juga dikenal dengan penghancuran yang sistematis atas sinagog-sinagog dan gereja-gereja, termasuk gereja Holy Sepulchre. Inilah salah satu sebab terjadinya Perang Salib.

Tahun 1071 Seljuk dari Turki berhasil menggusur kalifah Fatimid sebagai penguasa tanah suci Yerusalem. Dengan demikian wilayah kekuasaan kalifah Fatimid terdesak hingga ke Mesir. Kaum Seljuk kemudian menutup jalur-jalur ziarah yang begitu lama terpelihara. Para peziarah dari Eropa melaporkan bagaimana mereka diganggu dan dihina oleh pasukan berpelana karpet (pasukan Turki). Hal ini menambah marah Eropa Barat yang kemudian melakukan serangkaian invasi, yang mereka sebut sebagai Perang Salib.

Walaupun kekalifahan Fatimid berhasil merebut kembali Yerusalem dari Turki pada tahun 1098, namun mereka kemudian dibantai di sana oleh para pejuang salib setahun kemudian. Inilah kejatuhan Yerusalem (tahun 1099) dimana para pejuang salib membantai banyak orang Yahudi maupun Islam yang bertahan di dalam kota. Mereka juga melarang kaum Yahudi tinggal di Yerusalem. Pada masa ini Dome of the Rock dirubah menjadi bangunan Kristen dengan nama Templum Domini (berarti Rumah Tuhan). Gereja Holy Sepulchre dibangun kembali, lalu rumah-rumah sakit dan biara-biara juga didirikan.

Kekuasaan Kristen berlangsung hampir 90 tahun, hingga tahun 1187 ketika kota Yerusalem kembali ditaklukan oleh sebuah pemerintahan Muslim, kali ini oleh pasukan Mamluke di bawah pimpinan Sultan Saladin. Berbeda dengan Kekalifahan Fatimid yang beraliran Syiah, Saladin dan para penerusnya (kesultanan Ayubid) berhasil menjadikan Mesir sebagai pusat keyakinan Islam Sunni. Dalam kekuasaannya, Saladin banyak dipuji oleh sejarahwan Arab maupun Eropa dalam hal kekesatriaannya. Ketika para pejuang salib menaklukkan Yerusalem tahun 1099, mereka membunuh hampir semua penduduknya, tapi ketika Saladin menaklukkan kota itu tahun 1187, dia mengampuni musuh-musuhnya, memberi mereka waktu untuk meninggalkan kota dengan aman.

Pada akhir tahun 1099, Sultan Saladin telah menguasai hampir seluruh Kerajaan Yerusalem (kekuasaan pasukan Kristen), kecuali Tirus. Namun saat itu dia dihadapkan pada kedatangan gelombang ketiga dari pasukan salib yang dipimpin tiga penguasa Eropa saat itu: Frederick Barbarossa dari Jerman, Philip Augustus dari Perancis, dan Richard the Lionharted dari Inggris. Frederick meninggal dalam perjalanan, namun Philip dan Richard berhasil menaklukkan Acre lalu Philip kembali ke Perancis.

Di bawah pimpinan Richard, pasukan gabungan ini berhasil mengalahkan Saladin dalam pertempuran di Arsuf. Mereka lalu berusaha masuk lebih jauh ke pedalaman, ke arah Yerusalem, namun Saladin memukul mundur mereka ke arah pantai. Akhirnya Richard menandatangani perjanjian damai dengan Saladin pada tahun 1192 yang mengembalikan kekuasaan Kristen di sepanjang wilayah pantai antara Jaffa dan Beirut. Wilayah ini mereka sebut Kerajaan Yerusalem, walaupun tidak mencakup kota Yerusalem di dalamnya. Sultan Saladin meninggal pada tahun berikutnya.

Kesultanan Ayubid menguasai Yerusalem sepanjang abad ke-13 hingga abad ke-15.Dalam rentang waktu yang panjang itu pasukan Kristen berkali-kali berupaya mengambil alih Yerusalem dan sempat berhasil dalam dua periode singkat, yakni tahun1229-1239 dan 1240-1244. Namun sesudah itu mereka terdesak kembali ke wilayah pantai sebelum akhirnya meninggalkan tanah Palestina pada tahun 1291 ketika pasukan Mamluk merebut Acre.
Seperti halnya kesultanan Abbasid di Bagdad, para sultan Ayubid di Kairo sangat mengandalkan pasukan orang Turki yang disebut Mamluk (yang berarti dimiliki oleh Arab). Orang-orang Turki ini ditangkap pada saat masih kanak-kanak, diIslamkan dan diberi berbagai latihan militer oleh penguasa Arab. Pada tahun 1250, orang-orang Mamluk ini mengambil alih Citadel di Kairo (istana dan pusat pemerintahan kesultanan Ayubid). Menyusul jatuhnya Mesir, Palestina sebagai wilayah pendudukan Ayubid ikut jatuh ke tangan penguasa Mamluk.

Palestina di zaman itu sempat mengalami kehancuran dan penjarahan yang kejam dari pasukan Mongol sebelum pasukan Mamluk berhasil mengusir mereka. Perang yang sengit dan berkepanjangan dengan pasukan Salib di sepanjang pantai Laut Tengah menambah kehancuran negeri ini. Karena kekhawatiran akan kembalinya pasukan salib mereka merusak pelabuhan-pelabuhan, perkebunan-perkebunan dan sistem-sistem irigasinya. Pendapatan yang didapat dari para peziarah kini mengering karena pasukan Mamluk terus mengisolasi Palestina. Karena literatur Arab adalah asing bagi Mamluk, mereka juga menghancurkan perpustakaan-perpustakaan bahkan pusat-pusat budaya dan ilmu pengetahuan Arab. Hal ini menempatkan Palestina ke dalam masa kelam selama sekitar 600 tahun.

Inilah babak ke-5. Palestina dan Israel porak-poranda akibat kekuatan-kekuatan asing yang berperang memperebutkan tanah mereka.

Senin, 09 Februari 2009

Perang Palestina-Israel: Konflik 4000 Tahun

BABAK KE-4

Kemunculan Islam pada abad ke-7 mengakibatkan perubahan besar di Timur Tengah. Kekalifahan sesudah Nabi Muhammad meluaskan wilayahnya ke utara, merebut wilayah-wilayah bekas kekaisaran Byzantine yang telah lemah, termasuk Palestina.

Setelah masa yang singkat dalam penguasaan Persia, pasukan Arab akhirnya bisa mencapai dan mengepung Yerusalem. Merasa tak bisa mempertahankan Yerusalem dari serangan Arab pimpinan patriarki Romawi di Yerusalem, Sophoronius, mengirim pesan pada Omar bin al-Khatab, Kalifah ketiga dan pimpinan tertinggi bala tentara Arab, bahwa dia akan menyerahkan Yerusalem kepadanya.

Tahun 638, enam tahun sesudah meninggalnya nabi Mohammad, Omar pergi ke Yerusalem dan menerima penyerahan Yerusalem dengan menandatangani syarat-syarat penyerahan yang menyebutkan perlindungan bagi orang-orang Kristen, harta benda dan gereja-gereja mereka. Inilah penaklukan Yerusalem yang pertama kali tanpa pembantaian dan penghancuran.

Caesarea, ibukota Palestina versi Romawi, merupakan kota yang terakhir jatuh ke tangan Arab pada tahun 640. Kota pelabuhan ini bertahan lama dari kepungan karena mendapat suplai melalui laut. Setelah kejatuhan Caesarea, akhirnya Palestina menjadi bagian integral dari dunia Arab.

Segera setelah menaklukkan Yerusalem, Omar membersihkan Bukit Ka’bah dari puing-puing reruntuhannya dan menemukan batu yang diyakininya menjadi tempat sembahyang nabi Muhammad sebelum naik ke surga setelah melakukan perjalanan ajaib selama satu malam dari Mekah dengan mengendarai kuda-terbangnya Al-Buraq.

Lokasi ini adalah reruntuhan kuil dewa Jupiter yang dibangun kaisar Hardian, dibangun di atas puing-puing ka’bah Yahudi, baik ka’bah pertama yang didirikan Salomo dan dihancurkan Nebukadnezar, maupun ka’bah kedua yang kemudian dihancurkan Titus. Di tempat suci ini, dikenal dalam bahasa Arab sebagai Haram al Sharif, Kalifah Abd al-Malik membangun gedung megah yang spektakuler, yakni Qubbat As-Sakhrah (Dome of the Rock) antara tahun 687 dan 691 M.

Bangunan ini adalah sebuah mashhad, yakni bangunan untuk para peziarah. Tinggi kubahnya 20 meter dengan lebar 10 meter dan merupakan salah satu maha karya Arsitektur dunia. Berdampingan dengannya berdiri mesjid Al-Aqsa di mana mereka dapat sembahyang. Yerusalem menjadi kota suci bagi kaum muslimin.Penguasa muslim yang menguasai wilayah ini hingga tahun 960an mengizinkan orang Kristen bahkan Yahudi untuk tetap memelihara agamanya. Mereka juga mengizinkan para peziarah dari berbagai tempat di Eropa dan Asia untuk datang ke Yerusalem.

Zaman kekalifahan ini merupakan kemenangan Palestina yang sebagian besar penduduknya telah memeluk Islam. Mereka menjadi bagian dari dunia Arab dan bagian dari kekalifahan yang memerintah.

Minggu, 01 Februari 2009

Perang Palestina-Israel: Konflik 4000 tahun

BABAK KE 3

Pada tahun 6 Masehi, Romawi kembali mengambil alih kekuasaan atas wilayah Israel dan Palestina dengan memecat Archelaus, anak Herodes, yang menyalahgunakan kekuasaannya. Judea menjadi bagian dari sebuah provinsi Romawi yang lebih besar, yakni Iudaea, yang terbentuk dengan menggabungkan Yudea, Samaria dan Idumea. Ibukota provinsinya adalah Caesarea.

Pontius Pilatus merupakan salah satu gubernur di Provinsi ini. Pilatus diceritakan sebagi orang yang bertanggung jawab atas penyaliban Yesus. Dalam pengadilannya dia tidak mendapati kesalahan apapun pada Yesus, tapi karena tuntutan yang begitu besar dari orang Yahudi agar Yesus disalibkan, Pilatus akhirnya mencuci tangannya dan menyerahkan kewenangannya kepada massa yang beringas itu.

Setelah Yesus disalibkan tentara Romawi pada masa pemerintahan Pontius Pilatus, para pengikut Yesus menyebarkan ajaran-ajaran Yesus di seluruh tanah Israel, Palestina, bahkan di seluruh kekaisaran Romawi. Para pemuka agama Yahudi menghawatirkan berkembangnya ajaran ini dan berusaha menangkap para penyebarnya. Ini membuat mereka melarikan diri dari tanah Israel ke tempat-tempat seperti Antiokia, Epesus, Roma dan negeri-negeri asing lainnya. Mereka akhirnya membentuk koloni-koloni Yahudi Kristen, seperti yang dibentuk Petrus di Roma.

Ajaran Kristen terus meluas, bukan saja oleh orang-orang Yahudi namun juga oleh orang-orang Yunani yang telah dikristenkan. Seperti halnya Paulus orang Tarsus yang mengabarkan Injil kepada orang-orang Yahudi, Yunani dan Romawi dengan keahliannya menginterpretasikan terminologi-terminologi dan pemahaman-pemahaman filosofis dalam ajaran nasrani sesuai standar peradaban Helenistik yang dikuasainya sebagai orang Yunani. Paulus menjadi penulis beberapa buku dalam kitab suci agama Kristen.

Antara tahun 41 dan 44 CE, Iudaea kembali mendapatkan otonomi nominalnya ketika Herodes Agripa dinobatkan sebagai raja orang Yahudi oleh kaisar Claudius. Tapi ketika Agripa mangkat, provinsi itu kembali diperintah secara langsung oleh Romawi sebelum dikembalikan kepada Markus Julius Agripa pada tahun 48 Masehi. Agripa II ini menjadi raja terakhir dari dinasti Herodes.

Setelah Claudius Agung meninggal tahun 54 Masehi, Nero menjadi kaisar Romawi menggantikan pamannya itu. Nero melakukan pembunuhan pada orang-orang Kristen, di antaranya Paulus dan Petrus yang dihukum mati sekitar tahun 64 Masehi. Nero melakukan pembantaian-pembantaian itu dengan kejam, dari menjadikan mereka makanan singa, membakar mereka hidup-hidup, hingga membakar kota dan mengkambing-hitamkan orang-orang Kristen di Roma. Kekejamannya berlangsung terus hingga tahun 68 Masehi ketika terjadi kudeta militer yang menjungkalkan Nero dari tahtanya. Sebelum dihukum mati, kaisar kejam ini akhirnya bunuh diri.

Orang Yahudi Terusir dari Yerusalem

Dalam masa pemerintahan Nero, yakni pada bulan November tahun 66 Masehi, dimulailah pemberontakan Yahudi yang disebut Perang Yahudi-Romawi Pertama. Pemberontakan ini berlangsung selama 4 tahun dan berakhir pada tahun 70 Masehi, saat mana panglima militer Romawi, jenderal Titus, berhasil menumpas pemberontakan ini dan menghancurkan Yerusalem hingga rata dengan tanah. Orang-orang Yahudi di Yerusalem dibantai dan sisanya diperjualbelikan sebagai budak di kota-kota Romawi.

Perang Kitos (115-117), disebut juga Pemberontakan di Pengasingan merupakan nama yang diberikan pada perang Yahudi-Romawi Kedua. Nama Kitos diambil dari jenderal Lusius Quietus yang dengan brutal memadamkan pemberontakan Yahudi di Mesopotamia. Dia kemudian dikirim ke Yudea menangani pemberontakan di sana sebagai seorang procurator di bawah Trajan, kaisar Romawi pada saat itu.

Walaupun mengalami pembantaian dalam dua pemberontakan tadi, namun orang Yahudi masih menjadi mayoritas di Yerusalem, hingga pada akhir pemberontakan ketiga ketika mereka bangkit melawan Romawi tahun 132 hingga 135 Masehi. Pemberontakan ini dipimpin oleh Simon bar Kokhba dan dikenal dengan pemberontkan Barkokhba yang hampir berhasil menguasai Yerusalem. Namun kaisar Hadrian (pengganti Trajan) berhasil memadamkan pemberontakannya. Dia bahkan merubah nama provinsi Iudaea menjadi Syria Palestina, membantai dan mengusir orang Yahudi dari Yerusalem lalu merubah nama kota itu menjadi Aelia Capitolina (diambil dari namanya Aelius Hadrianus) dengan maksud mempermalukan Yahudi dan menghapus hubungan historis Yahudi dari wilayah itu.

Orang-orang Yahudi, terutama orang Yerusalem, tercerai-berai ke berbagai penjuru dunia dan membentuk diaspora di negeri-negeri asing. Reruntuhan Yerusalem dibangun kembali dengan namanya yang baru (Aelia Capitolina) dan di atas puing ka’bah Yahudi Hadrian membangun kuil untuk dewa Jove (Yupiter versi Yunani).

Agama Kristen Menjadi Agama Resmi

Orang-orang Yahudi dilarang memasuki bahkan mendekati Yerusalem hingga beratus-ratus tahun sesudah itu. Sebagian besar mereka lalu meninggalkan Israel membawa serta budaya dan agama Yahudi, juga ajaran Kristen yang sudah dianut sebagian dari mereka. Agama Yahudi bersifat eksklusif, tapi ajaran Yesus bersifat inklusif dan dengan demikian mudah menyebar di negeri-negeri asing dimana diaspora-diaspora Yahudi Kristen terbentuk.

Untuk mengamankan kekaisaran di tengah perkembangan kekristenan yang semakin meluas, pemerintah Romawi merangkul umat Kristen dengan melakukan beberapa penyesuaian pada ajarannya dan diasimilasikan dengan budaya Helenistik yang sudah dianut orang di seluruh wilayah Romawi sejak jaman Yunani. Dengan demikian semakin banyak orang yang menerima ajaran Kristen itu, hingga akhirnya Kaisar Konstantin sendiri memeluk agama Kristen pada tahun 325 Masehi. Kaisar ini memindahkan ibukota kekaisarannya ke Byzantine yang kemudian dinamai Konstantinopel.

Sejak itu Kristen menjadi agama resmi di seluruh kekaisaran Byzantine, termasuk di Palestina, dimana Konstantin merubuhkan berbagai kuil para dewa Yunani dan mendirikan banyak gereja di seluruh Palestina. Di antaranya adalah gereja Sepulchre suci (335 M) yang menjadi salah satu gereja terpenting Kristen karena diyakini menjadi tempat kebangkitan, didirikan di atas pondasi bekas kuil dewi Aphrodite dari zaman sebelumnya. Konstantin juga mendirikan gereja Ascensian di gunung Zaitun (Mount of Olives) dimana mereka yakini Yesus diangkat ke surga, dan gereja Nativity di Bethlehem: kota kelahiran Yesus. Pada masa inilah dimulainya tradisi ziarah umat Kristen ke Yerusalem. Mereka datang dari seluruh kekaisaran Romawi, terutama dari Eropa.

Inilah akhir babak ke 3: Masa kekaisaran Byzantine. Babak ini bukanlah keunggulan Palestina, namun jelas ini kekalahan total bagi bangsa Israel dimana mereka terusir dari tanah Israel. Dinasti Herodes telah berakhir, namun istilah Palestina untuk pertama kalinya digunakan sebagai nama untuk seluruh wilayah Israel dan Palestina.